KEDIRI, kabarreskrim.co.id – Meskipun telah diatur tegas dalam regulasi, praktik penahanan dokumen asli milik pekerja oleh perusahaan nyatanya masih berlangsung. Dengan alasan menjaga loyalitas dan sebagai “jaminan” agar karyawan tidak keluar tiba-tiba, sejumlah perusahaan di Kediri, baik kota maupun kabupaten, tetap melakukan tindakan yang tergolong ilegal ini.
Fenomena penahanan ijazah oleh perusahaan kembali mendapat sorotan publik setelah Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, melakukan inspeksi mendadak ke salah satu perusahaan yang diadukan karyawannya. Tak berhenti di sana, kasus serupa juga menyeruak hingga ke Riau dan memicu reaksi dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer.
Namun praktik ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar. Di Kediri, banyak pekerja muda menjadi korban skema ini. Salah satunya adalah Nana (nama samaran), lulusan SMA di Kabupaten Kediri, yang bekerja di sebuah toko grosir dan harus menyerahkan ijazah aslinya saat masa pelatihan kerja. Jika berhenti sebelum masa pelatihan selesai, dia diwajibkan membayar Rp 250 ribu untuk menebus ijazahnya.
“Teman-teman saya juga banyak yang keluar setelah tiga bulan kerja, agar bisa ambil ijazahnya tanpa membayar,” ujar Nana. Ia menilai, sistem tersebut sebenarnya bentuk paksaan yang tidak tertulis.
Cerita serupa datang dari Jaja (bukan nama sebenarnya), mantan pegawai toko seluler di Kota Kediri. Tidak hanya ijazahnya yang sempat ditahan, hak-hak ketenagakerjaannya pun tidak dipenuhi sepenuhnya.
“Saya sudah menyampaikan pengunduran diri dengan baik, tapi tetap saja dituduh merugikan perusahaan karena tidak memberi pemberitahuan jauh-jauh hari,” tuturnya.
Lain lagi dengan Riri, yang sejak 2015 hingga kini belum bisa mengambil ijazahnya dari tempat kerja sebelumnya. Meski sudah tiga kali mengajukan surat resign dan menghubungi pihak perusahaan, dokumennya belum juga dikembalikan.
“Saya sudah menghadap supervisor, tapi mereka terus menunda-nunda,” keluhnya.
Bentuk lain dari penahanan dokumen dialami oleh An, warga Kabupaten Kediri. Ia mengaku saat bekerja di lembaga pembiayaan tahun 2022, diminta menyerahkan BPKB motor sebagai jaminan kerja. Meski sempat ragu, ia memutuskan tetap menyerahkan karena khawatir kehilangan peluang kerja.
“Saya sudah pastikan waktu penyerahan dokumen dan kapan bisa diambil. Tapi tetap ada rasa waswas juga,” katanya.
Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Tenaga Kerja (Dinkop UMTK) Kota Kediri, Bambang Priambodo, mengonfirmasi bahwa aduan terkait praktik ini memang ada. Dalam empat bulan terakhir, pihaknya menerima enam laporan dari mantan pekerja lintas sektor, mulai dari perusahaan kuliner hingga konstruksi.
“Biasanya disebut sebagai ‘penyimpanan’ dokumen, padahal praktiknya sudah masuk pelanggaran. Harusnya kerja sama dibangun dari kepercayaan, bukan dengan menahan ijazah,” tegas Bambang.
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kediri pun membenarkan bahwa pihaknya menerima dua laporan serupa. Kepala Disnaker, Ibnu Imad, menyatakan bahwa perusahaan yang bersangkutan sudah dipanggil dan sedang dalam proses mediasi.
Ditegaskannya, tindakan tersebut melanggar Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 42, yang menyebutkan bahwa “pengusaha dilarang menyimpan dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan.”
“Kalau hanya salinan itu diperbolehkan, tapi dokumen asli tidak boleh sama sekali,” tandas Imad.
Larangan tersebut juga diperkuat oleh Perda Kota Kediri Nomor 1 Tahun 2019. Pelanggar bisa dikenai pasal 374 KUHP tentang penggelapan, dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan denda hingga Rp 50 juta.
Kasus-kasus ini menjadi cermin bahwa masih banyak pekerja muda yang rentan terhadap pelanggaran hak dasar ketenagakerjaan. Praktik penahanan dokumen bukan hanya melanggar hukum, tapi juga memunculkan ketimpangan relasi antara pekerja dan pemberi kerja.(Red.R)
0 Komentar