Kediri, kabarreskrim.co.id – Kejadian yang menggemparkan terjadi di Kabupaten Kediri terkait dugaan korupsi dalam pengisian perangkat desa di Desa Kebonrejo, Kecamatan Kepung. Dua jabatan penting di desa tersebut, yakni Kepala Dusun Panggungsari dan Kepala Urusan Perencanaan, diduga diisi melalui praktik manipulasi yang melibatkan pembayaran uang dalam jumlah yang sangat besar, mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Praktik ini diduga melibatkan sejumlah oknum yang berusaha memperoleh posisi tersebut dengan cara yang tidak sah, mencoreng proses seleksi yang seharusnya berlangsung adil dan transparan.
Kasus ini pertama kali terungkap setelah sejumlah peserta ujian seleksi perangkat desa merasa dirugikan dan melaporkan adanya dugaan kecurangan dalam proses pengisian perangkat desa yang berlangsung pada tahun anggaran 2023. Laporan tersebut mencakup dugaan kebocoran soal ujian, manipulasi nilai, hingga indikasi adanya transaksi suap untuk memastikan kelolosan peserta tertentu.
Setelah menerima laporan dari Forum Peserta Ujian Penyaringan Perangkat Desa (FUPPD) Kabupaten Kediri, Polda Jawa Timur melakukan penyelidikan intensif yang melibatkan pemeriksaan terhadap ratusan saksi serta penyitaan sejumlah barang bukti. Tim penyidik Subdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Jatim telah melakukan langkah-langkah investigasi dengan memeriksa lebih dari 700 saksi yang berasal dari berbagai desa di Kabupaten Kediri. Barang bukti yang telah disita termasuk dokumen ujian, rekaman komunikasi terkait, serta bukti transaksi keuangan yang mengarah pada praktik suap.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Polda Jawa Timur berhasil mengidentifikasi tiga tersangka utama yang diduga terlibat dalam manipulasi seleksi perangkat desa tersebut. Tersangka-tersangka ini diduga memiliki peran besar dalam mengatur jalannya ujian dan meloloskan peserta tertentu dengan imbalan sejumlah uang.
Pada tanggal 22 April 2024, Polda Jawa Timur mengumumkan penahanan terhadap tiga orang yang diduga terlibat dalam praktik korupsi ini. Ketiga tersangka dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Dirmanto, mengungkapkan bahwa penyidik terus berupaya untuk menggali lebih dalam terkait keterlibatan pihak lain yang mungkin terlibat dalam kasus ini.
"Proses penyidikan kami lakukan dengan serius, dan kami tidak menutup kemungkinan ada tersangka tambahan. Kami juga akan terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi lain yang dapat memberikan keterangan lebih lanjut," jelas Dirmanto.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari masyarakat Kabupaten Kediri dan penggiat anti-korupsi. Gabriel Goa, Ketua Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (KOMPAK Indonesia), mengingatkan pentingnya transparansi dan integritas dalam proses seleksi perangkat desa. "Jika praktik korupsi seperti ini dibiarkan, maka seluruh program pembangunan desa yang digulirkan oleh pemerintah pusat dan daerah bisa gagal dan tidak akan berjalan efektif," tegas Gabriel.
Debby D. Bagus Purnama, anggota FUPPD Kabupaten Kediri, juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas. "Kami mendesak agar proses hukum dilakukan dengan adil, dan seluruh pihak yang terlibat harus diberikan sanksi yang setimpal. Jangan hanya beberapa orang yang diproses, sementara aktor utama yang bertanggung jawab malah dibiarkan lepas," ungkap Debby.
Kasus ini melibatkan beberapa pelanggaran hukum yang sangat merugikan negara dan masyarakat desa itu sendiri. Berdasarkan hasil penyelidikan, beberapa peraturan dan undang-undang yang dilanggar antara lain:
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001:Pasal 5 Ayat (1): Melarang pemberian atau penerimaan suap kepada penyelenggara negara untuk bertindak tidak sesuai dengan kewajibannya.Pasal 12B: Mengatur tentang gratifikasi yang diterima oleh pejabat publik yang tidak dilaporkan dan dianggap sebagai suap.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):Pasal 421: Mengancam hukuman bagi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk meminta atau menerima imbalan yang tidak sah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa:Pasal 6 dan 7: Mengatur tentang prosedur yang harus dilakukan secara terbuka, objektif, dan tanpa ada intervensi pihak manapun.
Dengan terungkapnya kasus ini, masyarakat berharap agar proses hukum berjalan transparan dan adil. Kasus ini menjadi bukti bahwa praktik korupsi tidak boleh dibiarkan, khususnya di tingkat desa yang menjadi ujung tombak pemerintahan di Indonesia. Gabriel Goa, sebagai penggiat anti-korupsi, menekankan bahwa apabila tidak ada tindakan tegas, maka proses pembangunan desa akan terus terganggu oleh praktik-praktik ilegal semacam ini.
“Jika pemerintah dan aparat penegak hukum benar-benar berkomitmen untuk memberantas korupsi, ini adalah saat yang tepat untuk membuktikannya. Semua pihak yang terlibat dalam praktik korupsi ini harus diproses hingga tuntas,” tambah Gabriel.
Kasus dugaan korupsi pengisian perangkat desa di Kebonrejo, Kediri, menunjukkan adanya masalah mendalam dalam sistem seleksi perangkat desa yang seharusnya berjalan dengan prinsip keterbukaan, keadilan, dan transparansi. Dengan penahanan tiga tersangka yang terlibat, diharapkan dapat memberikan efek jera kepada oknum-oknum lain yang berusaha meraup keuntungan pribadi dengan merusak proses pemerintahan desa. Masyarakat Kabupaten Kediri berharap agar kasus ini dapat diselesaikan dengan tuntas dan tidak ada pihak yang kebal hukum. Ke depan, penting untuk menjaga agar seleksi perangkat desa dilakukan dengan lebih baik, demi terwujudnya pemerintahan desa yang bersih dan berintegritas.(Red.Tim)
0 Komentar