Laila Nadhifa, Penulis Penyandang Disabilitas yang Karyanya Menembus Luar Negeri

 

kabarreskrim.co.id Perjalanan hidup Laila Nadhifa penuh dengan aral dan ujian, namun perempuan 29 tahun itu memilih menjadikannya kekuatan. Terlahir sebagai penyandang disabilitas akibat lahir prematur di usia kandungan enam bulan, dia tumbuh dengan kaki yang tidak berkembang sempurna. Kondisi tersebut membuatnya harus menjalani aktivitas dengan berbagai keterbatasan. Namun dari ketidaksempurnaan itu, Laila menemukan jalan untuk berkarya dan menginspirasi banyak orang melalui tulisan.

Kini, Laila menjalani kesehariannya sebagai pedagang makanan kekinian di lapak kecil berukuran 1,5 x 2 meter di pinggir Lapangan Desa Gogorante, Kecamatan Ngasem. Di bawah rindangnya pepohonan, ia menjajakan camilan seperti aroma pisang dan pisang coklat sejak 2022—tahun ketika ia menikah dan memutuskan fokus membangun usaha bersama keluarga kecilnya.

Sebelum membuka usaha kuliner, Laila dikenal sebagai seorang penulis. Tiga buku telah ia terbitkan, bahkan karyanya menyebar hingga luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Salah satu bukunya yang paling banyak mendapatkan perhatian berjudul “Aku Memang Berbeda”, yang memuat kisah nyata perjuangannya sebagai penyandang disabilitas, termasuk pengalaman pahit menjadi korban perundungan. Buku tersebut menjadi viral dan akhirnya diangkat menjadi film berjudul Laila pada 2021, yang sukses meraih sejumlah penghargaan di festival film di Bandung, Malang, dan Jember.

Laila bercerita bahwa hobi menulisnya dimulai ketika ia masih kecil. Kedua orang tuanya sangat protektif sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berat. Sepeninggal kedua orang tuanya ketika ia masih duduk di bangku SMP, hidup Laila terasa runtuh. Namun di tengah kesunyian dan kesedihan itu, ia menemukan pelarian melalui tulisan. “Tidak ada yang bisa saya lakukan selain menulis. Di sekitar saya hanya ada laptop dan buku,” kenangnya.

Kisah-kisah yang ia tulis awalnya hanya sebagai cara untuk menenangkan diri. Namun seiring waktu, karyanya justru menjadi motivasi bagi banyak pembaca, terutama mereka yang juga mengalami keterbatasan. “Buku ini sebenarnya sebagai penguatan diri sendiri. Saya tidak pernah menyangka bisa menjadi penyemangat bagi orang lain,” tuturnya.

Perjalanan hidup Laila tak selalu mudah. Ia pernah dikunci di kamar mandi oleh teman sekolahnya, pernah takut untuk berangkat sekolah, dan sempat trauma menghadapi lingkungan yang tidak ramah. Namun tekadnya untuk bertahan membuatnya terus melanjutkan pendidikan. Bahkan pada 2019, ia sempat menjadi guru bagi penyandang disabilitas sebelum akhirnya kontraknya berakhir.

Fase hidupnya berubah ketika ia menikah dengan Edi Priyo Sudariyanto dan dikaruniai seorang anak. Kesibukan sebagai istri dan ibu membuatnya sulit membagi waktu untuk menulis. Kini, ia memilih memprioritaskan keluarga sambil tetap berjualan untuk membantu ekonomi rumah tangga. Baginya, memiliki keluarga dan seorang anak merupakan anugerah besar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Sebagai penyandang disabilitas, saya tidak pernah membayangkan bisa menikah, apalagi memiliki anak,” ujarnya haru.

Meski tidak lagi aktif menulis, semangat Laila tidak pernah pudar. Ia percaya bahwa setiap ujian hidup selalu diikuti keajaiban. “Cacat bukan penyakit, bukan kekurangan. Ini anugerah dari Allah. Setelah badai pasti ada pelangi,” ungkapnya sambil menahan air mata.

(Red.EH)

Posting Komentar

0 Komentar