Self-Reward atau Sekadar Ikut Tren? Saat Hadiah untuk Diri Sendiri Malah Jadi Beban

  

 kabarreskrim.co.id-"Lelah kerja? Kasih hadiah buat diri sendiri, dong." Kalimat seperti ini kian sering terdengar, terutama di tengah maraknya budaya konsumtif yang dibungkus rapi dengan istilah self-reward. Sepatu edisi terbaru, skincare viral, kopi dari kedai populer—semuanya bisa diklaim sebagai bentuk “apresiasi diri”.

Namun, apakah semua itu benar-benar tanda mencintai diri? Atau justru hanya jadi alasan halus agar tak merasa tertinggal dari tren sosial yang silih berganti?

Secara konsep, self-reward adalah bentuk positif dari penghargaan diri. Ia muncul sebagai bentuk penguatan, perayaan kecil atas pencapaian pribadi, atau bahkan penghormatan atas keberhasilan bertahan di tengah tekanan hidup yang kadang tak terlihat oleh orang lain.

Tapi realitanya, di era media sosial yang serba cepat, penuh ekspektasi, dan selalu “on”, batas antara menghargai diri dan membeli secara impulsif jadi sangat tipis. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut ketinggalan tren, kini membalut setiap keputusan yang awalnya hanya ingin "memberi ruang untuk bahagia".

Tak jarang, seseorang membeli sesuatu bukan karena dibutuhkan, tapi karena takut tidak terlihat “update”. Teman unggah foto dengan tas baru? Mulai merasa tas sendiri kuno. Influencer posting ngopi di tempat estetik? Tiba-tiba ingin juga, padahal bukan penggemar kopi.

Di sinilah letak persoalannya. Ketika self-reward berubah fungsi menjadi pelarian dari tekanan sosial, bahkan menjadi alat untuk mendapat validasi, ia bukan lagi bentuk cinta diri—melainkan bentuk kompensasi.

Tak sedikit pula yang akhirnya terjebak dalam gaya hidup yang tak sesuai kemampuan. Demi “menikmati hasil kerja keras”, mereka berani belanja di luar batas. Alhasil, stres datang lagi di akhir bulan saat tagihan kartu kredit menumpuk. Ironisnya, hadiah yang tadinya diniatkan untuk membahagiakan diri malah menjadi sumber tekanan baru.

Padahal, menghargai diri tak selalu harus identik dengan pengeluaran. Tidur lebih cepat, membaca buku favorit, menikmati kopi di rumah sambil mendengarkan lagu tenang, atau sekadar mematikan notifikasi dan memberi jeda untuk diri sendiri juga bisa jadi bentuk self-reward yang sangat bermakna.

Masalahnya, citra self-reward yang mendominasi media sosial sering kali bias. Yang ditampilkan hanyalah sisi menyenangkannya: momen unboxing, pamer liburan mendadak, atau estetika makan malam mewah. Sementara sisi gelapnya—tekanan finansial, rasa tak pernah cukup, dan kecemasan sosial—nyaris tak pernah ditunjukkan.

Self-reward seharusnya lahir dari kesadaran, bukan dorongan sesaat. Bukan karena algoritma menyarankan, bukan karena ingin terlihat serupa dengan timeline, tapi karena diri benar-benar membutuhkannya.

Ingat, memanjakan diri itu penting, tapi lebih penting lagi mengenali apa yang benar-benar kita perlukan. Jangan sampai rasa cinta pada diri sendiri malah berubah menjadi jebakan konsumerisme yang berulang.

Sebelum menekan tombol “check out”, coba tanyakan ke diri sendiri:
"Apakah aku membelinya karena butuh, atau hanya ingin terlihat sama seperti yang lain?"

Karena yang paling tahu kebutuhanmu bukan akun media sosial, bukan influencer, dan bukan tren. Tapi kamu sendiri.(red.a)

Posting Komentar

0 Komentar